Cerpen
AKU SEORANG IBU
Oleh : Didi Darwiska
Suara alarm membangunkanku dari tidur lelapku, menutup mimpi semalam untuk bersiap menyambut pagi yang cerah. Sinar mentari menembus kaca – kaca jendela kamar, terlihat burung – burung kecil hinggap menghiasi dahan – dahan pohon. Kubuka jendela kaca itu, mataku disilaukan cahaya teriknya mentari. Kicau burung – burung kecil bagai nyanyian alam nan merdu. Aku segera beranjak dari kamar menuju ke dapur untuk membuat sarapan pagi, karena sebagai seorang ibu rumah tangga tentunya itu adalah kewajiban untukku.
Namaku Anita, seorang ibu rumah tangga dengan sejuta kesibukan. Aku memiliki seorang putri bernama Anisa, usianya sudah menginjak 16 tahun dan bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di kota ini. Anisa putriku satu – satunya, karena menurut Dokter aku tidak akan bisa memiliki anak lagi. Anisa tergolong anak yang cerdas namun juga keras kepala seperti Ayahnya, tak jarang aku dan Anisa terlibat adu mulut karena perbedaan pendapat ataupun karena betapa bandelnya putriku ini. Namun dibalik keras kepalanya, Anisa adalah anak yang penuh semangat dan tak mudah menyerah. Menurut suamiku Anisa sama sepertiku sewaktu muda dulu, pesona dan parasnya yang begitu cantik di tambah senyum manis di bibir.
Pagi itu sekitar pukul enam lewat dua puluh lima menit, aku sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Anisa datang berseragam sekolah menuruni anak tangga lalu duduk menunggu sarapan.
“Nisa, sini bantuin Ibu! Tolong ambilin piringnya.” Pintaku halus.
“Ambil sendiri dong, Bu! Aku lagi malas nih.” Tolaknya. Aku menatapnya geram, namun wajahnya santai saja menatap layar smartphone di tangan kanannya.
“Nisa, Ayahmu mana?”
“Nissaaa!” Bentakku. Dia sedikit terkejut dan melepaskan pandangan dari layar smartphone-nya.
“Nggak tau ah! Mungkin masih dikamar.” Jawabnya ketus.
“Nisa? Kok jawabnya gitu? Nggak sopan tau!”
“Biarin aja!”
“Kamu ini ya? Kalau diberi tahu malah ngelawan.”
“Udah deh Bu! Jangan cerewet.” Aku hanya dapat mengelus dada, menarik nafas dalam – dalam lalu ku hembuskan perlahan. Itulah caraku meredam emosi, hal seperti ini sudah biasa terjadi padaku dan Anisa.
“Mas Anto! Ayo turun sarapan! Udah jam setengah tujuh nih!” Teriakku dari lantai satu. Tak berselang lama terdengar suara sepatu menuruni anak tangga dari lantai dua, suamiku datang untuk sarapan bersama.
“Ada apa sih pagi – pagi udah ribut aja?” Tanya Mas Anto.
“Ayah seperti belum mengenal Ibu saja.” Jawab Anisa singkat.
“Biasa Mas, putri cantikmu yang malas ini memulai perang di dapur.” Jelasku, Mas Anto tertawa lepas.
“Apaan sih! Ibu nih yang mulai duluan, Yah.” Kata Anisa coba membela diri. Anisa mencoba mencurahkan semua rasa kesalnya terhadapku kepada sang Ayah, sehingga menyebabkan Suasana dapur ribut kembali. Mas Anto merupakan tempat pelarian Anisa dari kemarahanku.
“Jadi udah lama nungguin Ayah turun ya?” Tanya Mas Anto dengan senyum lebar mencoba memecah suasana baru..
“Udah satu jam aku nunggu Ayah.” Jawab Anisa ketus.
“Benarkah? Bukannya kamu baru saja turun?” Mas Anto tersenyum menggoda Anisa, aku hanya mendengarkan percakapan mereka seraya meletakan nasi goreng hangat di meja makan.
“Udah – udah! Sarapan dulu sebelum nasi gorengnya dingin.” Kataku menyela percakapan mereka berdua. Mereka terdiam sejenak lalu tertawa, kebersamaan begitu terasa ketika kami sarapan pagi bersama walaupun Anisa masih terlihat sebal kepadaku.
Setelah selesai sarapan, Mas Anto berpamitan padaku saat hendak berangkat menuju sekolah mengantar Anisa lalu kemudian Ia berangkat ke kantor tempatnya bekerja.
“Daahh! Aku pergi dulu ya!” Kata mas Anto sebelum masuk ke mobilnya. Kulirik Anisa hanya sibuk dengan smartphone-nya.
“Anisa nggak pamit sama Ibu?” Seru Mas Anto. Anisa hanya melirikku kecut, “Aku pergi dulu.” Sepertinya dia masih marah oleh pertengkaran tadi pagi denganku, tidak seperti biasanya.
“Maafkan kata – kata ibu tadi di dapur yah?” Anisa menatapku bosan, hanya mengangkat alisnya sebagai tanda respon terhadapku.
“Belajar yang rajin ya, Nak!”
Wajah Anisa terlihat sebal, “Dah sayang?” Kataku sambil melambaikan tangan padanya. Dahi Anisa berkerut membalas lambaian tanganku dengan wajah cemberut, “Ayo dong jalan,Yah! Udah mau lambat nih.” Anisa menggerutu. Mas Anto memacu mobilnya ke jalanan menembus sejuknya pagi yang perlahan hilang ditelan hangatnya terik matahari. Wajah cemberut Anisa masih terbayang dalam pikiranku hingga mobil Mas Anto hilang di kelokan jalan.
“Ah, sudahlah! Hal – hal seperti ini biasa terjadi antara seorang anak dengan ibunya. Nanti juga pasti akan baikan lagi, Anisa pasti tak akan tahan lama jika marahan denganku. Lagi pula aku ini Ibunya, memang pantas apabila memarahinya ataupun melarangnya karena itu semua untuk kebaikannya sendiri.” Pikirku dalam hati.
Aku hendak mandi membasuh badanku untuk menghilangkan lelah fisik maupun pikiranku. Namun saat hendak ke kamarku, langkahku terhenti tepat didepan kamar Anisa. Pintu kamarnya terbuka membuat timbulnya rasa ingin tau. Aku melangkah masuk ke dalam kamar Anisa, “Ya Tuhan!” aku keheranan melihat kamar anakku sendiri. Seorang anak perempuan mana mungkin kamarnya seperti ini, seperti kadang sapi malah lebih rapi kandang sapi menurutku. “Bagaimana mungkin seorang wanita tak tahu merapikan kamarnya sendiri” Keluhku sambil merapikan kamarnya. Namun saat merapikan meja belajarnya tak sengaja kutemukan buku matematika yang membuatku berhenti mengoceh, “Bukannya hari ini dia mendapatkan pelajaran matematika?” Tanya batinku. Sepertinya Anisa lupa membawanya, “eh, tapi hari ini! Bukannya?”. Aku mengambil kalender “Iya benar, Anisa Ujian tengah semester hari ini.” Aku berhenti merapikan kamar juga menunda untuk mandi, lalu mengganti baju dan bergegas beranjak pergi kesekolah membawakan buku matematika Anisa.
Tak butuh waktu lama aku sudah berada dalam mobil taxi, tak lupa juga ku bawakan bungkusan yang berisi sedikit makanan dari rumah. “Mungkin saja itu bisa meredakan marahnya terhadapku” batinku. Setibanya di sekolah kulihat siswa – siswi menghiasi taman sekolah sepertinya sedang istrahat menunggu jam pelajaran berikutnya, aku mencari Anisa ke kelasnya tapi tak kutemukan. Temannya memberitahukan padaku mereka melihat Anisa di kantin bersama teman – temannya, aku segera menuju kesana dan benar saja Anisa ada disana. Kuhampiri Anisa di antara teman – temannya yang berkelompok.
“Nisa?” wajah Anisa begitu terkejut melihatku.
“Ibu? Ngapain datang ke sekolah?” Seru Anisa.
“Ibu datang bawain buku matematika kamu yang tertinggal, Nak”
“Kenapa sih Ibu repot – repot datang cuma mau bawain buku ini?” Wajah Anisa kecut.
“Bukannya kamu ujian tengah semester hari ini? Lagi pula Ibu tidak hanya membawakanmu itu saja! Ini Ibu juga membawakanmu makanan.” Jelasku sambil memberikannya bungkusan makanan itu. Seketika semua teman – teman Anisa tertawa terbahak – bahak, raut wajah Anisa tak bisa ku gambarkan lagi.
“Hey kawan – kawan, lihatlah si putri cantik Anisa di bawain makanan sama Ibunya.” Teriak salah satu siswi yang duduk di meja kantin, sontak saja semua orang di kantin mentertawai Anisa. Aku merasa bersalah terhadap Anisa, aku tak tau akan terjadi seperti ini pada akhirnya. “Kaya anak TK aja pake di bawain makanan sama Ibunya” seru seorang siswi yang lain, “Cup cup cuup!” Tambah salah seorang dari mereka.
“Sebaiknya Ibu pulang saja! Ibu hanya membuatku malu." Matanya berkaca – kaca menatapku, “Ibu harusnya tak perlu membawakanku makanan seperti ini! Hanya membuatku dipermalukan.” Ungkapnya dengan nada sedikit lebih keras.
“Nisa, mengapa kamu bilang begitu? Ibu tak pernah mengajarkanmu bicara kasar seperti itu.” Kutatap dengan jelas bola matanya, kali ini Anisa tak mengindahkan teguranku dan malah membentakku.
“Seharusnya Ibu nggak perlu datang! Apalagi bawain makanan kaya gini” Bentak Anisa sambil melemparkan makanan yang kuberikan padanya, aku sedikit terkejut mendengar kata – kata Anisa.
Seperti ada peluru yang tiba – tiba datang menembus hati ini, begitu sakit seakan tak kuharapkan terjadi. “Apa Ibu begitu memalukan, Nak? Apa kau begitu malu memiliki Ibu seperti ini?” tanyaku tegas. Tak kusangka jawaban Anita begitu memilukanku, “Iya, aku malu punya Ibu seperti ini! Aku tak pernah mengharapkan di lahirkan oleh ibu yang seperti ini!” Bentaknya keras. Sungguh terkejutnya diriku mendengar kata – kata dari anakku sendiri, kata – kata yang selama ini belum pernah kudengar dari mulut Anisa. Aku tak dapat menahan emosi dan rasa amarahku, rasa kecewa sudah begitu menguasaiku sehingga lupa segalanya dan tenggelam dalam emosiku sendiri.
“Plaaakk!” Aku tak dapat menahan emosiku, aku menampar Anisa refleks. Air matanya menetes, “Maafkan Ibu, Nak! Ibu nggak bisa nahan emosi.” Aku menyesal. Suasana kantin sekolah lenggang sejenak, kami menjadi tontonan beberapa siswa siswi disana di antaranya adalah teman – teman Anisa yang sedari tadi tertawa dan kini berhenti karena terkejut menyaksikan kejadian tadi. “Aku berharap tak pernah memiliki seorang ibu seperti dirimu.” Ungkap Anisa sambil mengusap air matanya. “Nisa, Ibu tak bermaksud seperti itu.” Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Anisa sudah pergi meninggalkanku setengah berlari menuju kelasnya.
“Apakah tindakanku sebagai seorang Ibu salah? Entahlah! Yang pasti aku telah mengecewakan seorang putri yang amat ku sayangi.” Keluhku dalam hati sambil berjalan keluar dari gerbang sekolah. Aku masih terngiang dengan perkataan Anisa, langkah kakiku berjalan tak tentu arah. Sepanjang jalan hatiku mengoceh, “Apakah aku salah? Apa aku ini begitu memalukan? Apa yang kulakukan ini salah? Mungkin aku gagal menjadi seorang Ibu yang baik!” batinku bertanya – Tanya.
Sebagai seorang Ibu, walau bagaimana pun seorang anak dia tetaplah anakku. Rasa sakit yang dia berikan membuat pilu, air mataku menetes perlahan membasahi pipiku. Sesekali ku usap air mataku menyembunyikannya dari setiap orang yang kutemui dijalan, namun tetap saja air mata mengalir terus. Aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan, aku merasa gagal sebagai seorang Ibu. Aku tak pernah bermaksud untuk mempermalukannya, “oh Tuhan, Maafkan aku! Apa yang kulakukan pada putriku satu - satunya.” Seru batinku.
Beberapa orang yang kutemui dijalan memperhatikanku, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melangkah menjauh dari gerbang sekolah, tidak tahu entah kemana kaki ini membawaku. Sampai di sebuah persimpangan jalan, aku menghela nafas dan mengusap air mata ku. Lalu melangkah lagi. Seseorang berteriak di belakangku “Ibu awas!” Aku menoleh seorang ibu – ibu tangannya menujuk kearah sebuah mobil yang melaju ke arahku.
“Gbraakk!” mobil itu menghantam tubuhku dan aku masih sempat melihat, aku terlempar ke depan lalu seketika penglihatanku gelap. Aku tak merasakan apapun, aku tak bisa melihat apa pun. “Ayo tolongin Ibu ini, angkat! Angkat ke mobil! Dia pingsan.” Kata – kata itu kudengar lamat – lamat. “Aduhh!” Refleks aku mengeluarkan suara dan tersadar, karena rasa sakit yang begitu menusuk di kaki kiriku. Kulihat kerumunan orang mengelilingiku lalu membantuku berdiri, “Arrggh, kakiku!” begitu sakitnya kakiku, tak dapat ku gerakan kaki kiriku. Tiba – tiba aku merasa pusing dan mual, lalu seketika penglihatanku gelap lagi “Ibu! Ibu! Ayo Angkat pak, bantuin! Dia pingsan lagi.” Suara – suara itu kudengar lamat – lamat lalu hilang, aku benar – benar tidak bisa melihat apa – apa bahkan lupa yang terjadi.
Di pagi itu sebuah cahaya menerpa wajahku, lamat – lamat kulihat suamiku duduk di sampingku. Cahaya mentari yang menembus jendela membuat jelas suasana diruangan itu, seperti berada di sebuah rumah sakit.
“Mas Anto?” Kataku lemah, dia terkejut lalu melihatku.
“Sayang, syukurlah kamu sudah sadar!”
“Aku dimana, Mas?” Tanyaku pelan, “Kita di rumah sakit” Jelas Mas Anto.
“Mas, Anisa dimana?”
“Anisa tidak pulang semalam, aku sudah mencarinya ke sekolah dan menelfonnya juga beberapa temannya, tapi tak ada yang tahu.” Jelasnya.
“Aku mau mencari Anisa, Mas!”
“Arrgh! Kakiku” Keluhku saat mencoba duduk, “Apa yang terjadi pada kakiku, Mas?” Mas Anto sejenak terdiam, “Kakimu patah sayang, jangan dulu di gerakkan, belum pulih total.” Jelasnya.
“Aku takut terjadi sesuatu pada Anisa, tidak seperti biasanya dia tidak pulang dan tidak memberi kabar.” Jelas Mas Anto. Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Mas Anto, dia hanya terdiam. Mas Anto pamitan padaku untuk pergi mencari Anisa ke sekolah.
Air mataku menetes memikirkan Anisa, “Apakah Anisa pergi sekolah? Siapakah yang membuatkan sarapan untuknya?” Batinku. Aku teringat Ibuku, dulu aku pun sering bertengkar dengannya karena betapa cerewetnya dia menurutku. Mungkin itulah yang di rasakan Anisa terhadapku, pernah sekali aku pergi dari rumah saat itu. Ibuku marah besar terhadapku, satu perkataan yang selalu ku ingat darinya walaupun hingga dia telah tiada “Anita, suatu saat nanti kau pun akan menjadi seorang Ibu. Kau akan tahu bagamana sakitnya melahirkan juga sulitnya merawat dan menjaga seorang anak. Bagaimana perasaan seorang Ibu saat di bentak anaknya sendiri. Bahkan kau akan tau bagaimana pengorbanan Ibu yang sesungguhnya. Mungkin saat ini kau hanya seorang anak perempuan yang hanya tahu senang – senang bersama temanmu bahkan apa yang Ibu beritahukan kepadamu tak pernah kau indahkan. Suatu saat nanti kau akan tau arti seorang Ibu.” Itulah perkataan Ibuku yang membuatku terdiam dan menangis saat itu.
Ingin rasanya aku bercerita dengan Ibuku tentang Anisa anakku yang sama sepertiku waktu muda dulu. Ibuku pasti tertawa, bahkan mungkin mengejekku. “Ibu kan udah pernah bilang! Makanya jadi anak jangan ngebantah orangtua! Sekarang tahukan bagaimana rasanya ngurus anak.” Mungkin kira – kira itulah kata yang akan Ibu ucapkan padaku, aku tersenyum sendiri membayangkannya. Tapi sayangnya Ibuku telah tiada, aku tak tahu harus cerita pada siapa karena hanya sesama wanita-lah yang dapat mengerti.
“Ibu!” Seru Anisa muncul dari bingkai pintu menghampiriku, matanya berkaca – kaca langsung memelukku. Aku mengelus kepala anakku, “Maafin Ibu ya, Nak?” Aku menangis.
“Akulah yang harusnya minta maaf, Bu! Maafin aku ya, Bu?” Kata Anisa. Air mata membasahi pipinya, aku mngusap air mata yang menetes di pipinya.
“Aku ini Ibumu sayang! Semarah apapun Ibu kamu tetaplah putriku.” Kataku sambil mencium keningnya. Aku tersenyum kepadanya “Udah – udah jangan nangis! Anak Ibu nggak cantik kalau lagi nangis.”
“Ibu juga jangan nangis dong!” Kata Anisa sambil mengusap air mata di pipiku. “Oh iya, kamu tahu Ibu ada disini karena siapa?” Tanyaku.
“Hehem!” Suara Mas Anto yang sedang berdiri di bingkai pintu. “karena Ayahnya dong!” Serunya lagi seraya melangkah masuk.
“Udah selesai nangis – nangisnya?” Tambah Mas Anto, aku dan Anisa hanya tertawa kecil.
Tak terasa seminggu telah berlalu, akhirnya sore itu aku di perbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Anisa dan Mas Anto menjemputku lalu membawa ku pulang, aku belum diperbolehkan jalan sendiri jadi aku masih menggunakan kursi roda. Mobil Mas Anto melaju meninggalkan rumah sakit hingga tak terlihat lagi ditutup gedung – gedung tinggi.
“Nisa, Ibu lupa Tanya! Lalu waktu kamu nggak pulang, kamu tidur dimana, Nak?” Tanyaku menyelidik.
“Hehe, aku nginap di rumah Lisa temen sekelasku, Bu!” Jelasnya. “Ayah udah nelfon Lisa, Cuma aku paksa untuk bilang aku nggak ada disana!”
“Trus ketemu Ayah dimana?”
“Ayah nungguin aku disekolah, Bu! aku mau kabur, Bu! Tapi keburu ketangkap sama Ayah.” Jelasnya sambil tertawa.
“Iya itupun setelah Ayah ceramahin berkali – kali baru mau ikut pulang. Apalagi saat denger Ibu di tabrak terus kaki ibu patah, aku langsung narik – narik Ayah ke mobil mau ke rumah sakit.” Tambah Anisa lagi, yang membuat kami semua tertawa lepas.
Sesampainya di rumah Anisa membantuku turun dari mobil dan mendorong kursi rodaku, suamiku menurunkan barang – barang. “Ayah nggak mau gendong Ibumu naik turun tangga loh!” seru suamiku. Sepertinya malam ini Ibu akan tidur di lantai satu deh.” Kata Anisa tertawa kecil.
Pagi itu hari minggu, aku keluar dari kamar menuju dapur. Kulihat Anisa sedang memasak, “Anisa? kamu ngapain?” tanyaku sedikit terkejut karena tidak biasanya dia seperti ini. Dengan menirukan gaya ku dia berkata “ Ibu mau sarapan apa?”. Aku tersenyum lebar menatapnya! “Nasi goreng saja!” seruku. Tak lama nasi goreng sudah dihidangkan di tengah meja makan. Kemudian suamiku pun ikut bergabung dalam kebersamaan sarapan bersama, “Ada hangus – hangusnya gitu deh!” kata Ayahku. Aku menyiku Mas Anto, “Mas nggak tahu ya? Kita punya koki baru!” Kataku menyela.
“Namanya juga masakin sarapan perdana, Yah!” Seru Anisa.
“Enak kok! Ayah suka!” Goda Mas Anto lagi.
Kami semua tertawa, dan aku menutup sarapan itu dengan menceritakan kepada Anisa apa yang pernah Ibuku ceritakan dan katakan kepadaku. Mas Anto dan Anisa tertawa terbahak – bahak. Mulai saat itu sikap Anisa pun berubah terhadapku, hingga kakiku sudah pulih total.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar