Cerpen
Dibalik Mawar Merah
Semburat sinar mentari perlahan hilang di telan malam, cuaca sedang tidak bersahabat. Angin dingin berhembus membawa aroma hujan, Guntur pun sesekali menggelegar di langit. Aku duduk bersila di atas kasur membaca sebuah novel. Satu persatu tetes hujan mulai membasahi tiap sudut kota ini. Saat hujan adalah kegemaranku untuk membaca novel – novel terbaru. Malam itu aku tertidur dengan novel masih melekat di tangan sementara tubuhku sudah terbaring di atas kasur.
Namaku Adinda Bunga Putri, orang di sekitarku biasa memanggilku Bunga. Aku lahir di Surabaya, namun saat lulus sekolah menegah pertama orang tuaku pindah ke Jakarta. Aku melanjutkan sekolahku di sana, SMA Bina Bangsa menjadi pilihan orang tuaku. Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tidaklah mudah, butuh waktu sedikit lama untukku yang merupakan gadis pemalu. Setelah sebulan bersekolah aku memiliki beberapa teman, salah satunya Ervina yang merupakan teman sebangku juga Riki dan Gio teman sekelasku.
“Bunga!!! BANGUN!!!” Teriakan Ibuku menggema ke seluruh ruangan rumah membuatku sontak menutup kepalaku dengan bantal. Aku mengoceh protes, tanganku meraih ponsel. “Oh my God! Aku telat” aku terkejut saat menatap layar smartphone milikku. Hanya butuh waktu lima menit aku sudah beranjak dari kamarku, kulihat Ibu sedang menyiapkan sarapan. Aku hanya mengambil sepotong roti lalu berpamitan pada Ibu, aku keluar rumah dan menemukan sesuatu di depan pintu rumahku.
“Eh, kok ada mawar di sini?” langkah kakiku terhenti saat melihat setangkai mawar merah di depan sepatuku. Seperti ada yang sengaja menaruhnya pikirku, kulihat sekeliling tak ada satu pun orang selain diriku. Kuambil mawar itu dan hendak mencium aromanya namun aku batalkan. Aku teringat berita di televisi yang aku tonton minggu lalu, yang menyiarkan pencurian dengan berkedok sebagai penjual parfum. Parfum itulah penyebabnya, saat orang menghirup aromanya akan terhipnotis. Aku sontak melemparnya ke halaman rumah.
Sepagi itu aku menunggu mobil taxi yang lewat di depan rumah. Aku tidak mau merepotkan Ayah, Ia terlihat kelelahan karena banyak pekerjaan. Tangan ku melambai ketika melihat sebuah mobil taxi muncul dari kelokan jalan. Mobil itu berhenti, aku pergi ke sekolah.
Sampai di sekolah baru saja aku masuk kelas, bel berbunyi. Semua siswa - siswi menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Hari senin adalah hari yang paling tidak di sukai para siswa – siswi, karena harus datang lebih cepat untuk upacara bendera. Setelah upacara selesai, aku masuk ke kelas karena Pak Iskandar guru fisika sudah menuju ke kelasku. satu jam berlalu dengan rumus – rumus yang menyakitkan kepala, beruntung bel berbunyi menyelamatkan kami semua.
“Woy! Kantin yuk?” teriak Riki.
“Apaan sih loe, bikin sakit kuping gue tauk!” sergah Ervina.
“Yuk, aku juga lapar nih” ucapku.
“Gue ikut!” Gio berlari mengejar kami
Kami berempat berjalan menuju kantin, Riki sesekali tertawa menjaili Ervina yang berjalan di depannya. Gio berjalan di sampingku sibuk dengan ponselnya. Diantara mereka dialek-ku yang paling berbeda, karena baru sekitar dua bulan aku tinggal di Ibukota ini. Jadi masih butuh waktu untukku bisa menirukan gaya bahasa mereka, yang “loe gue” itu.
“Eh, kalian mau makan apa?” tanyaku.
“Gue bakso deh!” ucap Gio.
“Gue bakso juga deh!” seru Ervina.
“Yah loe semua pada sama sih, Gue sama! Bakso juga deh” Kata Riki.
Kami semua tertawa mendengar perkataan Riki, dia memang seorang cowok dengan selera humor yang tinggi. Sedangkan Gio lebih pendiam dan tidak suka basa – basi. Setelah kami makan, akhirnya harus kembali ke kelas menghadapi Ibu Nirma guru kimia. Hari ini adalah hari neraka bagiku karena harus di rundung dua mata pelajaran yang menyakitkan kepala.
Sepulang sekolah langkahku berhenti menatap bunga mawar yang ku buang tadi pagi. Kuambil kembali bunga itu, aku baru menyadari ada sebuah kertas kecil di dalam bunga mawar itu. isinya “Hai Bunga, selamat pagi? Mawar ini mungkin tak secantik dirimu namun tolong terimalah.” aku berpikir sejenak setelah membaca kalimat itu, dia tahu namaku tapi tidak menuliskan namanya. Ini seperti sebuah misteri, ku simpan bunga itu di atas meja belajarku.
Malam itu aku hendak bertanya pada ibu tentang bunga mawar tadi pagi tetapi aku batalkan, aku takut itu hanya akan menjadi bahannya untuk menggodaku. Setelah selesai makan malam Ibu dan Ayah pergi minum teh berdua di taman belakang, sepertinya mereka sedang bernostalgia berdua. Aku cukup lelah hari ini setelah berpikir keras di sekolah menghadapi pelajaran, aku merebahkan diri hingga tertidur.
Pagi itu hujan membungkus Ibukota, awan hitam menutupi langit sepanjang mata memandang. Saat membuka pintu depan rumah, lagi – lagi setangkai mawar di letakan di depan pintu. Aku segera mengambil dan menyembunyikannya agar tidak di ketahui oleh Ayah atau Ibu. Aku pergi ke sekolah di antar oleh Ayahku.
Sesampainya di sekolah, kubaca isi pesan itu “Kau bagai mawar yang indah namun berduri, aku bisa terluka saat mencoba memetikmu.” Lagi – lagi pesan itu tanpa nama, aku tersenyum saat membacanya. Kiriman bunga mawar itu tidak hanya sampai hari itu, tetapi berlanjut hari ke hari tiap pagi aku selalu menemukan bunga mawar dengan isi pesan yang berbeda tertulis di kertas. Aku terkejut hebat saat membaca isi pesan singkat pada kiriman bunga mawar yang ke lima.
Isi pesannya ”Kita selalu berdekatan tetapi kau belum menyadarinya. Mungkin selama ini kau bertanya – tanya siapa diriku, besok selesai jam pelajaran aku tunggu di belakang sekolah” pikiranku terasa penuh setelah membaca isi pesan singkat yang di tulis pada kertas dan di selipkan dalam setangkai mawar. “Sekolah?” batinku bertanya - tanya, aku semakin penasaran siapakah sebenarnya yang mengirimkan mawar – mawar ini.
Pagi itu hari sabtu saat tiba di sekolah kuceritakan semua tentang mawar merah itu kepada Ervina, tetapi tidak dengan Riki dan Gio. Aku sebenarnya curiga pada kedua temanku itu, dan sebenarnya aku menyimpan perasaan kepada salah satu dari mereka. Aku menyukai Gio, dari awal mengenalnya aku telah jatuh hati padanya karena Gio adalah tipe cowok yang perhatian dan lembut. Namun aku tidak pernah menunjukan rasa sukaku pada Gio karena aku tidak mau merusak pertemanan kami berempat.
Setelah Ervina mendengarkan semua ceritaku tentang kiriman bunga mawar itu, dia sedikit terkejut tetapi tanggapannya biasa saja. Kulirik kearah Gio dan Riki yang sedang duduk di kursinya sibuk dengan smartphone masing – masing.
“Er, ntar temenin aku ke belakang sekolah yah?”
“Hmm, apa sih yang gak buat loe!” ucap Ervina.
“Tapi kalau menurut kamu nih, kira – kira pengirimnya siapa yah?” tanyaku meminta pendapat.
“Kalo itu sih Gue gak tau”
“Apa mungkin Gio ya? Atau Riki?” kataku menebak.
“Gak mungkin ah, mereka gak mungkin suka sama loe!” kata Ervina tegas.
Aku terdiam melihat ekspresi wajah Ervina, dia seperti sedikit terbawa emosi. “Apa mungkin Ervina juga memendam rasa pada mereka? Kalaupun benar apakah itu Gio? Atau Riki?” batinku. Kepalaku semakin sesak saja di penuhi pikiran dan pertanyaan – pertanyaan baru. Akhirnya setelah bel pulang berbunyi, aku mengajak Ervina menemaniku ke belakang sekolah. Betapa terkejutnya aku dengan apa yang kulihat, aku melihat Gio bersama seorang cewek. Dia adalah Rania anak kelas sebelas senior kami, aku bisa mendengar percakapan mereka. Gio menyatakan cintanya dan di terima oleh Rania, mereka resmi pacaran.
Aku dan Ervina terdiam sejenak melihat melihat pertunjukan itu, suasana di sekitar terasa lenggang dan aku seakan tak dapat merasakan apa-apa. Aku tidak tahu apakah pertunjukan ini di sengaja atau tidak. Air mataku tidak dapat ku bendung, mengalir perlahan membasahi pipi. Aku begitu sakit hati hari itu, dan melupakan pertemuanku dengan si pengirim bunga mawar merah. Perasaanku untuk Gio yang kupendam hancur saat melihat Gio menyatakan cinta pada Rania. Aku tahu aku memang tidak pantas untuk dia, tetapi aku tak dapat membohongi perasaan. Itulah yang membuatku menangis.
“Bunga, loe nangis?” tanya Ervina terkejut.
“Ha? Gak kok! Aku gak nangis.” jawabku dengan mengusap air mata yang mengalir.
“Gue gak bego kali Bunga! Loe suka sama Gio kan?” tanya Ervina tegas.
Aku tidak mengindahkan pertanyaan Ervina, aku berlari dari tempat menyakitkan itu. Tetapi belum jauh kakiku melangkah tangan Ervina memegang lenganku menahan langkahku. Ia mengeluarkan setangkai mawar merah dari tasnya dan di berikan kepadaku, aku terdiam tidak mengerti melihat apa yang terjadi. Kuambil mawar merah itu isi pesannya “I Love You, Bunga!” aku terkejut membacanya.
“Er, ini maksudnya apaan?”
“Maafin gue Bunga! Gue udah jadi orang pengecut yang bisanya cuma ngomong di belakang doang lewat mawar – mawar itu, itu karena gue takut kehilangan loe! Gue takut loe ngejauhin gue!” jelas Ervina.
“Jadi selama ini? Bunga mawar? Kamu yang ngirim?” kataku gemetar mendengar pengakuan Ervina.
“Iya loe bener! Emang gue yang naruh depan pintu rumah loe, gue bela – belain keluar lewat jendela supaya gak ketahuan nyokap kalau gue keluar tengah malam buat naruh tuh bunga mawar. Maafin gue Bunga, gue tau gue salah! Gak seharusnya gue lakuin ini, tapi gue gak bisa bohong. Gue tau perasaan gue ini dilarang, tapi gue gak bisa! Gue sayang sama loe! Semua yang gue lakuin buat loe itu karena gue cinta sama loe Bunga!” jelas Ervina. Kata – kata Ervina membuatku terdiam, air mata kembali membasahi pipiku. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku merasa semua ini salah.
“Kenapa harus aku Er? Kenapa aku?” kataku dengan wajah penuh air mata.
Aku pergi meninggalkan Ervina sendirian, cinta dan pertemananku hancur. Aku pulang ke rumah, sampainya di rumah semua mawar yang ku simpan selama ini ku buang. Aku pergi menemui Ibuku dan meminta untuk pindah sekolah atau aku akan berhenti sekolah. Ibuku mengizinkan setelah mendengarkan ceritaku, akhirnya aku di pindahkan ke sekolah yang baru. Semua kenangan lama ku kubur dalam – dalam.
Sebulan sudah aku menjalani kehidupan sebagai murid baru di sekolah ini, aku memiliki dua orang teman. Fitri dan Inggrit, fitri teman sebangku sedangkan Inggrit teman sekelasku. Hari ini guru sedang rapat dan kami sekelas menyambut ria kabar itu. saat sedang bergosip ria dengan teman – teman ponselku berbunyi, aku menerima sebuah pesan singkat.
“Hai Bunga! Loe apa kabar? Dimana sekarang? Kok ganti nomor hp gak ngabarin sih? Gue kangen banget sama loe tau. By : Riki” aku tersenyum membacanya, aku sadar telah melupakan Riki.
“Hai juga Rik! Aku baik, ketemuan yuk? Aku ingin cerita semuanya!” aku membalas pesan singkat dari Riki, aku juga akan menemuinya dan meminta maaf.
The End
Tidak ada komentar:
Posting Komentar