Cerpen
Dibalik Mawar Merah
Semburat sinar mentari perlahan hilang di telan malam, cuaca sedang tidak bersahabat. Angin dingin berhembus membawa aroma hujan, Guntur pun sesekali menggelegar di langit. Aku duduk bersila di atas kasur membaca sebuah novel. Satu persatu tetes hujan mulai membasahi tiap sudut kota ini. Saat hujan adalah kegemaranku untuk membaca novel – novel terbaru. Malam itu aku tertidur dengan novel masih melekat di tangan sementara tubuhku sudah terbaring di atas kasur.
Namaku Adinda Bunga Putri, orang di sekitarku biasa memanggilku Bunga. Aku lahir di Surabaya, namun saat lulus sekolah menegah pertama orang tuaku pindah ke Jakarta. Aku melanjutkan sekolahku di sana, SMA Bina Bangsa menjadi pilihan orang tuaku. Menyesuaikan diri dengan lingkungan baru tidaklah mudah, butuh waktu sedikit lama untukku yang merupakan gadis pemalu. Setelah sebulan bersekolah aku memiliki beberapa teman, salah satunya Ervina yang merupakan teman sebangku juga Riki dan Gio teman sekelasku.
“Bunga!!! BANGUN!!!” Teriakan Ibuku menggema ke seluruh ruangan rumah membuatku sontak menutup kepalaku dengan bantal. Aku mengoceh protes, tanganku meraih ponsel. “Oh my God! Aku telat” aku terkejut saat menatap layar smartphone milikku. Hanya butuh waktu lima menit aku sudah beranjak dari kamarku, kulihat Ibu sedang menyiapkan sarapan. Aku hanya mengambil sepotong roti lalu berpamitan pada Ibu, aku keluar rumah dan menemukan sesuatu di depan pintu rumahku.
“Eh, kok ada mawar di sini?” langkah kakiku terhenti saat melihat setangkai mawar merah di depan sepatuku. Seperti ada yang sengaja menaruhnya pikirku, kulihat sekeliling tak ada satu pun orang selain diriku. Kuambil mawar itu dan hendak mencium aromanya namun aku batalkan. Aku teringat berita di televisi yang aku tonton minggu lalu, yang menyiarkan pencurian dengan berkedok sebagai penjual parfum. Parfum itulah penyebabnya, saat orang menghirup aromanya akan terhipnotis. Aku sontak melemparnya ke halaman rumah.
Sepagi itu aku menunggu mobil taxi yang lewat di depan rumah. Aku tidak mau merepotkan Ayah, Ia terlihat kelelahan karena banyak pekerjaan. Tangan ku melambai ketika melihat sebuah mobil taxi muncul dari kelokan jalan. Mobil itu berhenti, aku pergi ke sekolah.
Sampai di sekolah baru saja aku masuk kelas, bel berbunyi. Semua siswa - siswi menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Hari senin adalah hari yang paling tidak di sukai para siswa – siswi, karena harus datang lebih cepat untuk upacara bendera. Setelah upacara selesai, aku masuk ke kelas karena Pak Iskandar guru fisika sudah menuju ke kelasku. satu jam berlalu dengan rumus – rumus yang menyakitkan kepala, beruntung bel berbunyi menyelamatkan kami semua.
“Woy! Kantin yuk?” teriak Riki.
“Apaan sih loe, bikin sakit kuping gue tauk!” sergah Ervina.
“Yuk, aku juga lapar nih” ucapku.
“Gue ikut!” Gio berlari mengejar kami
Kami berempat berjalan menuju kantin, Riki sesekali tertawa menjaili Ervina yang berjalan di depannya. Gio berjalan di sampingku sibuk dengan ponselnya. Diantara mereka dialek-ku yang paling berbeda, karena baru sekitar dua bulan aku tinggal di Ibukota ini. Jadi masih butuh waktu untukku bisa menirukan gaya bahasa mereka, yang “loe gue” itu.
“Eh, kalian mau makan apa?” tanyaku.
“Gue bakso deh!” ucap Gio.
“Gue bakso juga deh!” seru Ervina.
“Yah loe semua pada sama sih, Gue sama! Bakso juga deh” Kata Riki.
Kami semua tertawa mendengar perkataan Riki, dia memang seorang cowok dengan selera humor yang tinggi. Sedangkan Gio lebih pendiam dan tidak suka basa – basi. Setelah kami makan, akhirnya harus kembali ke kelas menghadapi Ibu Nirma guru kimia. Hari ini adalah hari neraka bagiku karena harus di rundung dua mata pelajaran yang menyakitkan kepala.
Sepulang sekolah langkahku berhenti menatap bunga mawar yang ku buang tadi pagi. Kuambil kembali bunga itu, aku baru menyadari ada sebuah kertas kecil di dalam bunga mawar itu. isinya “Hai Bunga, selamat pagi? Mawar ini mungkin tak secantik dirimu namun tolong terimalah.” aku berpikir sejenak setelah membaca kalimat itu, dia tahu namaku tapi tidak menuliskan namanya. Ini seperti sebuah misteri, ku simpan bunga itu di atas meja belajarku.
Malam itu aku hendak bertanya pada ibu tentang bunga mawar tadi pagi tetapi aku batalkan, aku takut itu hanya akan menjadi bahannya untuk menggodaku. Setelah selesai makan malam Ibu dan Ayah pergi minum teh berdua di taman belakang, sepertinya mereka sedang bernostalgia berdua. Aku cukup lelah hari ini setelah berpikir keras di sekolah menghadapi pelajaran, aku merebahkan diri hingga tertidur.
Pagi itu hujan membungkus Ibukota, awan hitam menutupi langit sepanjang mata memandang. Saat membuka pintu depan rumah, lagi – lagi setangkai mawar di letakan di depan pintu. Aku segera mengambil dan menyembunyikannya agar tidak di ketahui oleh Ayah atau Ibu. Aku pergi ke sekolah di antar oleh Ayahku.
Sesampainya di sekolah, kubaca isi pesan itu “Kau bagai mawar yang indah namun berduri, aku bisa terluka saat mencoba memetikmu.” Lagi – lagi pesan itu tanpa nama, aku tersenyum saat membacanya. Kiriman bunga mawar itu tidak hanya sampai hari itu, tetapi berlanjut hari ke hari tiap pagi aku selalu menemukan bunga mawar dengan isi pesan yang berbeda tertulis di kertas. Aku terkejut hebat saat membaca isi pesan singkat pada kiriman bunga mawar yang ke lima.
Isi pesannya ”Kita selalu berdekatan tetapi kau belum menyadarinya. Mungkin selama ini kau bertanya – tanya siapa diriku, besok selesai jam pelajaran aku tunggu di belakang sekolah” pikiranku terasa penuh setelah membaca isi pesan singkat yang di tulis pada kertas dan di selipkan dalam setangkai mawar. “Sekolah?” batinku bertanya - tanya, aku semakin penasaran siapakah sebenarnya yang mengirimkan mawar – mawar ini.
Pagi itu hari sabtu saat tiba di sekolah kuceritakan semua tentang mawar merah itu kepada Ervina, tetapi tidak dengan Riki dan Gio. Aku sebenarnya curiga pada kedua temanku itu, dan sebenarnya aku menyimpan perasaan kepada salah satu dari mereka. Aku menyukai Gio, dari awal mengenalnya aku telah jatuh hati padanya karena Gio adalah tipe cowok yang perhatian dan lembut. Namun aku tidak pernah menunjukan rasa sukaku pada Gio karena aku tidak mau merusak pertemanan kami berempat.
Setelah Ervina mendengarkan semua ceritaku tentang kiriman bunga mawar itu, dia sedikit terkejut tetapi tanggapannya biasa saja. Kulirik kearah Gio dan Riki yang sedang duduk di kursinya sibuk dengan smartphone masing – masing.
“Er, ntar temenin aku ke belakang sekolah yah?”
“Hmm, apa sih yang gak buat loe!” ucap Ervina.
“Tapi kalau menurut kamu nih, kira – kira pengirimnya siapa yah?” tanyaku meminta pendapat.
“Kalo itu sih Gue gak tau”
“Apa mungkin Gio ya? Atau Riki?” kataku menebak.
“Gak mungkin ah, mereka gak mungkin suka sama loe!” kata Ervina tegas.
Aku terdiam melihat ekspresi wajah Ervina, dia seperti sedikit terbawa emosi. “Apa mungkin Ervina juga memendam rasa pada mereka? Kalaupun benar apakah itu Gio? Atau Riki?” batinku. Kepalaku semakin sesak saja di penuhi pikiran dan pertanyaan – pertanyaan baru. Akhirnya setelah bel pulang berbunyi, aku mengajak Ervina menemaniku ke belakang sekolah. Betapa terkejutnya aku dengan apa yang kulihat, aku melihat Gio bersama seorang cewek. Dia adalah Rania anak kelas sebelas senior kami, aku bisa mendengar percakapan mereka. Gio menyatakan cintanya dan di terima oleh Rania, mereka resmi pacaran.
Aku dan Ervina terdiam sejenak melihat melihat pertunjukan itu, suasana di sekitar terasa lenggang dan aku seakan tak dapat merasakan apa-apa. Aku tidak tahu apakah pertunjukan ini di sengaja atau tidak. Air mataku tidak dapat ku bendung, mengalir perlahan membasahi pipi. Aku begitu sakit hati hari itu, dan melupakan pertemuanku dengan si pengirim bunga mawar merah. Perasaanku untuk Gio yang kupendam hancur saat melihat Gio menyatakan cinta pada Rania. Aku tahu aku memang tidak pantas untuk dia, tetapi aku tak dapat membohongi perasaan. Itulah yang membuatku menangis.
“Bunga, loe nangis?” tanya Ervina terkejut.
“Ha? Gak kok! Aku gak nangis.” jawabku dengan mengusap air mata yang mengalir.
“Gue gak bego kali Bunga! Loe suka sama Gio kan?” tanya Ervina tegas.
Aku tidak mengindahkan pertanyaan Ervina, aku berlari dari tempat menyakitkan itu. Tetapi belum jauh kakiku melangkah tangan Ervina memegang lenganku menahan langkahku. Ia mengeluarkan setangkai mawar merah dari tasnya dan di berikan kepadaku, aku terdiam tidak mengerti melihat apa yang terjadi. Kuambil mawar merah itu isi pesannya “I Love You, Bunga!” aku terkejut membacanya.
“Er, ini maksudnya apaan?”
“Maafin gue Bunga! Gue udah jadi orang pengecut yang bisanya cuma ngomong di belakang doang lewat mawar – mawar itu, itu karena gue takut kehilangan loe! Gue takut loe ngejauhin gue!” jelas Ervina.
“Jadi selama ini? Bunga mawar? Kamu yang ngirim?” kataku gemetar mendengar pengakuan Ervina.
“Iya loe bener! Emang gue yang naruh depan pintu rumah loe, gue bela – belain keluar lewat jendela supaya gak ketahuan nyokap kalau gue keluar tengah malam buat naruh tuh bunga mawar. Maafin gue Bunga, gue tau gue salah! Gak seharusnya gue lakuin ini, tapi gue gak bisa bohong. Gue tau perasaan gue ini dilarang, tapi gue gak bisa! Gue sayang sama loe! Semua yang gue lakuin buat loe itu karena gue cinta sama loe Bunga!” jelas Ervina. Kata – kata Ervina membuatku terdiam, air mata kembali membasahi pipiku. Aku tidak tahu harus bagaimana, aku merasa semua ini salah.
“Kenapa harus aku Er? Kenapa aku?” kataku dengan wajah penuh air mata.
Aku pergi meninggalkan Ervina sendirian, cinta dan pertemananku hancur. Aku pulang ke rumah, sampainya di rumah semua mawar yang ku simpan selama ini ku buang. Aku pergi menemui Ibuku dan meminta untuk pindah sekolah atau aku akan berhenti sekolah. Ibuku mengizinkan setelah mendengarkan ceritaku, akhirnya aku di pindahkan ke sekolah yang baru. Semua kenangan lama ku kubur dalam – dalam.
Sebulan sudah aku menjalani kehidupan sebagai murid baru di sekolah ini, aku memiliki dua orang teman. Fitri dan Inggrit, fitri teman sebangku sedangkan Inggrit teman sekelasku. Hari ini guru sedang rapat dan kami sekelas menyambut ria kabar itu. saat sedang bergosip ria dengan teman – teman ponselku berbunyi, aku menerima sebuah pesan singkat.
“Hai Bunga! Loe apa kabar? Dimana sekarang? Kok ganti nomor hp gak ngabarin sih? Gue kangen banget sama loe tau. By : Riki” aku tersenyum membacanya, aku sadar telah melupakan Riki.
“Hai juga Rik! Aku baik, ketemuan yuk? Aku ingin cerita semuanya!” aku membalas pesan singkat dari Riki, aku juga akan menemuinya dan meminta maaf.
The End
Jumat, 10 Maret 2017
Puisi
“DUKA”
Karya : I Gede Didi Darwiska
Kau datang tanpa salam
Menjemput jiwa tanpa raga
Kau pergi bagai tenggelam
menghilang tanpa suara
Kau memecah tangis dalam hening
Memutus harapan dalam diam
Beberapa menatap bergeming
Merasakan luka batin begitu dalam
Kau datang untuk pergi
Meninggalkan berjuta kenangan
Terasa hadirmu mencekam hati
Canda tawa menjadi kesedihan
Kau pergi tanpa janji
Entah kapan akan kembali
Walau kau tak pernah di nanti
Suatu hari kau pasti datang kembali
Mereka menyebutmu “Duka”
Karya : I Gede Didi Darwiska
Kau datang tanpa salam
Menjemput jiwa tanpa raga
Kau pergi bagai tenggelam
menghilang tanpa suara
Kau memecah tangis dalam hening
Memutus harapan dalam diam
Beberapa menatap bergeming
Merasakan luka batin begitu dalam
Kau datang untuk pergi
Meninggalkan berjuta kenangan
Terasa hadirmu mencekam hati
Canda tawa menjadi kesedihan
Kau pergi tanpa janji
Entah kapan akan kembali
Walau kau tak pernah di nanti
Suatu hari kau pasti datang kembali
Mereka menyebutmu “Duka”
Jumat, 17 Februari 2017
Pengaruh Media Sosial Terhadap Perkembangan Bahasa Indonesia
Media jaringan atau internet kini telah berkembang pesat akibat perkembangan teknologi yang semakin canggih. Kini internet juga telah menciptakan sebuah dunia baru yang di sebut dunia maya. Dunia maya adalah sebuah lingkungan yang tidak terlihat atau tidak nyata yang di gunakan untuk berkomunikasi melalui media elektronik dalam suatu jaringan(online) atau sering di sebut media sosial. Contoh media sosial yaitu Facebook, Twitter, Instagram, dan masih banyak lagi. Media sosial inilah yang cukup berpengaruh terhadap gaya hidup masyarakat Indonesia.
Di masa modern ini, media sosial merupakan hal biasa di kalangan masyarakat Indonesia. Kini tidak hanya kalangan remaja saja, beberapa orang tua pun sudah menggunakan media sosial. Akan tetapi banyak dari mereka yang belum menyadari dampak dari media sosial. Ada beberapa dampak positif media sosial terhadap kehidupan manusia yaitu memudahkan manusia berkomunikasi, mengenal orang baru maupun hal – hal baru, dan masih banyak lagi. Tidak hanya dampak positif, media sosial juga memiliki dampak negatif terutama terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Semua itu dibuktikan oleh gaya dan tata bahasa masyarakat Indonesia di zaman modern ini yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penggunaan bahasa Indonesia di kalangan remaja sudah terpengaruh oleh gaya bahasa yang ada di media sosial. Beberapa gaya bahasa yang berkembang di media sosial adalah gaya bahasa yang tidak sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar atau sering disebut “bahasa gaul”. Bahasa yang ada di media sosial tidaklah semuanya berdampak negatif, beberapa di antaranya juga memiliki manfaat. Terkadang kita secara tidak langsung mengambil maanfaat buruk dari media sosial lebih banyak dibanding manfaat baiknya. Untuk itu kita harus memprioritaskan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai ejaan yang disempurnakan.
Kita sebagai seorang manusia tentu tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, kita harus tahu memilah mana yang baik dan buruk, seperti memilah bahasa yang ada di media sosial. Itu semua tergantung dari bagaimana cara kita menyikapi dampak dari bahasa yang ada di media sosial terhadap bahasa Indonesia. Apabila kita dapat memilah mana bahasa yang baik pada media sosial, tentu saja akan berdampak baik terhadap diri dan kehidupan kita.
Di masa ini pun masih banyak masyarakat Indonesia yang belum menyadari betapa pentingnya bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia akan sangat berguna untuk masa depan seseorang. Seseorang dengan bahasa Indonesia yang baik akan mudah mendapatkan pekerjaan, karena tidak sedikit pekerjaan yang membutuhkan seseorang dengan cara berbahasa yang baik. itulah mengapa kita harus menjaga dan melestarikan bahasa Indonesia.
Rabu, 15 Februari 2017
Puisi ibu
Ibu Pergi
Karya: Didi Darwiska
Kala mentari hilang di telan malam
Cahayanya pudar di ufuk barat
Suasana sore perlahan mulai tenggelam
Semuanya gelap, hitam pekat
Satu persatu bintang bermunculan
Di temani bulan yang sendirian
Siang telah dilupakan
Tergantikan malam yang di abadikan
Kini kau telah pergi
Tidak mungkin kembali
Nasihatmu tertanam di hati
Tidak akan ku lupa hingga mati
Jiwa ragamu boleh berakhir
Tetapi kasih sayangmu hidup di hati
Dua patah kata terakhir
Kau ucapkan sebelum pergi
“Ibu menyayangimu”
Karya: Didi Darwiska
Kala mentari hilang di telan malam
Cahayanya pudar di ufuk barat
Suasana sore perlahan mulai tenggelam
Semuanya gelap, hitam pekat
Satu persatu bintang bermunculan
Di temani bulan yang sendirian
Siang telah dilupakan
Tergantikan malam yang di abadikan
Kini kau telah pergi
Tidak mungkin kembali
Nasihatmu tertanam di hati
Tidak akan ku lupa hingga mati
Jiwa ragamu boleh berakhir
Tetapi kasih sayangmu hidup di hati
Dua patah kata terakhir
Kau ucapkan sebelum pergi
“Ibu menyayangimu”
Minggu, 05 Februari 2017
Cerpen untuk ibu
Cerpen
AKU SEORANG IBU
Oleh : Didi Darwiska
Suara alarm membangunkanku dari tidur lelapku, menutup mimpi semalam untuk bersiap menyambut pagi yang cerah. Sinar mentari menembus kaca – kaca jendela kamar, terlihat burung – burung kecil hinggap menghiasi dahan – dahan pohon. Kubuka jendela kaca itu, mataku disilaukan cahaya teriknya mentari. Kicau burung – burung kecil bagai nyanyian alam nan merdu. Aku segera beranjak dari kamar menuju ke dapur untuk membuat sarapan pagi, karena sebagai seorang ibu rumah tangga tentunya itu adalah kewajiban untukku.
Namaku Anita, seorang ibu rumah tangga dengan sejuta kesibukan. Aku memiliki seorang putri bernama Anisa, usianya sudah menginjak 16 tahun dan bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di kota ini. Anisa putriku satu – satunya, karena menurut Dokter aku tidak akan bisa memiliki anak lagi. Anisa tergolong anak yang cerdas namun juga keras kepala seperti Ayahnya, tak jarang aku dan Anisa terlibat adu mulut karena perbedaan pendapat ataupun karena betapa bandelnya putriku ini. Namun dibalik keras kepalanya, Anisa adalah anak yang penuh semangat dan tak mudah menyerah. Menurut suamiku Anisa sama sepertiku sewaktu muda dulu, pesona dan parasnya yang begitu cantik di tambah senyum manis di bibir.
Pagi itu sekitar pukul enam lewat dua puluh lima menit, aku sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Anisa datang berseragam sekolah menuruni anak tangga lalu duduk menunggu sarapan.
“Nisa, sini bantuin Ibu! Tolong ambilin piringnya.” Pintaku halus.
“Ambil sendiri dong, Bu! Aku lagi malas nih.” Tolaknya. Aku menatapnya geram, namun wajahnya santai saja menatap layar smartphone di tangan kanannya.
“Nisa, Ayahmu mana?”
“Nissaaa!” Bentakku. Dia sedikit terkejut dan melepaskan pandangan dari layar smartphone-nya.
“Nggak tau ah! Mungkin masih dikamar.” Jawabnya ketus.
“Nisa? Kok jawabnya gitu? Nggak sopan tau!”
“Biarin aja!”
“Kamu ini ya? Kalau diberi tahu malah ngelawan.”
“Udah deh Bu! Jangan cerewet.” Aku hanya dapat mengelus dada, menarik nafas dalam – dalam lalu ku hembuskan perlahan. Itulah caraku meredam emosi, hal seperti ini sudah biasa terjadi padaku dan Anisa.
“Mas Anto! Ayo turun sarapan! Udah jam setengah tujuh nih!” Teriakku dari lantai satu. Tak berselang lama terdengar suara sepatu menuruni anak tangga dari lantai dua, suamiku datang untuk sarapan bersama.
“Ada apa sih pagi – pagi udah ribut aja?” Tanya Mas Anto.
“Ayah seperti belum mengenal Ibu saja.” Jawab Anisa singkat.
“Biasa Mas, putri cantikmu yang malas ini memulai perang di dapur.” Jelasku, Mas Anto tertawa lepas.
“Apaan sih! Ibu nih yang mulai duluan, Yah.” Kata Anisa coba membela diri. Anisa mencoba mencurahkan semua rasa kesalnya terhadapku kepada sang Ayah, sehingga menyebabkan Suasana dapur ribut kembali. Mas Anto merupakan tempat pelarian Anisa dari kemarahanku.
“Jadi udah lama nungguin Ayah turun ya?” Tanya Mas Anto dengan senyum lebar mencoba memecah suasana baru..
“Udah satu jam aku nunggu Ayah.” Jawab Anisa ketus.
“Benarkah? Bukannya kamu baru saja turun?” Mas Anto tersenyum menggoda Anisa, aku hanya mendengarkan percakapan mereka seraya meletakan nasi goreng hangat di meja makan.
“Udah – udah! Sarapan dulu sebelum nasi gorengnya dingin.” Kataku menyela percakapan mereka berdua. Mereka terdiam sejenak lalu tertawa, kebersamaan begitu terasa ketika kami sarapan pagi bersama walaupun Anisa masih terlihat sebal kepadaku.
Setelah selesai sarapan, Mas Anto berpamitan padaku saat hendak berangkat menuju sekolah mengantar Anisa lalu kemudian Ia berangkat ke kantor tempatnya bekerja.
“Daahh! Aku pergi dulu ya!” Kata mas Anto sebelum masuk ke mobilnya. Kulirik Anisa hanya sibuk dengan smartphone-nya.
“Anisa nggak pamit sama Ibu?” Seru Mas Anto. Anisa hanya melirikku kecut, “Aku pergi dulu.” Sepertinya dia masih marah oleh pertengkaran tadi pagi denganku, tidak seperti biasanya.
“Maafkan kata – kata ibu tadi di dapur yah?” Anisa menatapku bosan, hanya mengangkat alisnya sebagai tanda respon terhadapku.
“Belajar yang rajin ya, Nak!”
Wajah Anisa terlihat sebal, “Dah sayang?” Kataku sambil melambaikan tangan padanya. Dahi Anisa berkerut membalas lambaian tanganku dengan wajah cemberut, “Ayo dong jalan,Yah! Udah mau lambat nih.” Anisa menggerutu. Mas Anto memacu mobilnya ke jalanan menembus sejuknya pagi yang perlahan hilang ditelan hangatnya terik matahari. Wajah cemberut Anisa masih terbayang dalam pikiranku hingga mobil Mas Anto hilang di kelokan jalan.
“Ah, sudahlah! Hal – hal seperti ini biasa terjadi antara seorang anak dengan ibunya. Nanti juga pasti akan baikan lagi, Anisa pasti tak akan tahan lama jika marahan denganku. Lagi pula aku ini Ibunya, memang pantas apabila memarahinya ataupun melarangnya karena itu semua untuk kebaikannya sendiri.” Pikirku dalam hati.
Aku hendak mandi membasuh badanku untuk menghilangkan lelah fisik maupun pikiranku. Namun saat hendak ke kamarku, langkahku terhenti tepat didepan kamar Anisa. Pintu kamarnya terbuka membuat timbulnya rasa ingin tau. Aku melangkah masuk ke dalam kamar Anisa, “Ya Tuhan!” aku keheranan melihat kamar anakku sendiri. Seorang anak perempuan mana mungkin kamarnya seperti ini, seperti kadang sapi malah lebih rapi kandang sapi menurutku. “Bagaimana mungkin seorang wanita tak tahu merapikan kamarnya sendiri” Keluhku sambil merapikan kamarnya. Namun saat merapikan meja belajarnya tak sengaja kutemukan buku matematika yang membuatku berhenti mengoceh, “Bukannya hari ini dia mendapatkan pelajaran matematika?” Tanya batinku. Sepertinya Anisa lupa membawanya, “eh, tapi hari ini! Bukannya?”. Aku mengambil kalender “Iya benar, Anisa Ujian tengah semester hari ini.” Aku berhenti merapikan kamar juga menunda untuk mandi, lalu mengganti baju dan bergegas beranjak pergi kesekolah membawakan buku matematika Anisa.
Tak butuh waktu lama aku sudah berada dalam mobil taxi, tak lupa juga ku bawakan bungkusan yang berisi sedikit makanan dari rumah. “Mungkin saja itu bisa meredakan marahnya terhadapku” batinku. Setibanya di sekolah kulihat siswa – siswi menghiasi taman sekolah sepertinya sedang istrahat menunggu jam pelajaran berikutnya, aku mencari Anisa ke kelasnya tapi tak kutemukan. Temannya memberitahukan padaku mereka melihat Anisa di kantin bersama teman – temannya, aku segera menuju kesana dan benar saja Anisa ada disana. Kuhampiri Anisa di antara teman – temannya yang berkelompok.
“Nisa?” wajah Anisa begitu terkejut melihatku.
“Ibu? Ngapain datang ke sekolah?” Seru Anisa.
“Ibu datang bawain buku matematika kamu yang tertinggal, Nak”
“Kenapa sih Ibu repot – repot datang cuma mau bawain buku ini?” Wajah Anisa kecut.
“Bukannya kamu ujian tengah semester hari ini? Lagi pula Ibu tidak hanya membawakanmu itu saja! Ini Ibu juga membawakanmu makanan.” Jelasku sambil memberikannya bungkusan makanan itu. Seketika semua teman – teman Anisa tertawa terbahak – bahak, raut wajah Anisa tak bisa ku gambarkan lagi.
“Hey kawan – kawan, lihatlah si putri cantik Anisa di bawain makanan sama Ibunya.” Teriak salah satu siswi yang duduk di meja kantin, sontak saja semua orang di kantin mentertawai Anisa. Aku merasa bersalah terhadap Anisa, aku tak tau akan terjadi seperti ini pada akhirnya. “Kaya anak TK aja pake di bawain makanan sama Ibunya” seru seorang siswi yang lain, “Cup cup cuup!” Tambah salah seorang dari mereka.
“Sebaiknya Ibu pulang saja! Ibu hanya membuatku malu." Matanya berkaca – kaca menatapku, “Ibu harusnya tak perlu membawakanku makanan seperti ini! Hanya membuatku dipermalukan.” Ungkapnya dengan nada sedikit lebih keras.
“Nisa, mengapa kamu bilang begitu? Ibu tak pernah mengajarkanmu bicara kasar seperti itu.” Kutatap dengan jelas bola matanya, kali ini Anisa tak mengindahkan teguranku dan malah membentakku.
“Seharusnya Ibu nggak perlu datang! Apalagi bawain makanan kaya gini” Bentak Anisa sambil melemparkan makanan yang kuberikan padanya, aku sedikit terkejut mendengar kata – kata Anisa.
Seperti ada peluru yang tiba – tiba datang menembus hati ini, begitu sakit seakan tak kuharapkan terjadi. “Apa Ibu begitu memalukan, Nak? Apa kau begitu malu memiliki Ibu seperti ini?” tanyaku tegas. Tak kusangka jawaban Anita begitu memilukanku, “Iya, aku malu punya Ibu seperti ini! Aku tak pernah mengharapkan di lahirkan oleh ibu yang seperti ini!” Bentaknya keras. Sungguh terkejutnya diriku mendengar kata – kata dari anakku sendiri, kata – kata yang selama ini belum pernah kudengar dari mulut Anisa. Aku tak dapat menahan emosi dan rasa amarahku, rasa kecewa sudah begitu menguasaiku sehingga lupa segalanya dan tenggelam dalam emosiku sendiri.
“Plaaakk!” Aku tak dapat menahan emosiku, aku menampar Anisa refleks. Air matanya menetes, “Maafkan Ibu, Nak! Ibu nggak bisa nahan emosi.” Aku menyesal. Suasana kantin sekolah lenggang sejenak, kami menjadi tontonan beberapa siswa siswi disana di antaranya adalah teman – teman Anisa yang sedari tadi tertawa dan kini berhenti karena terkejut menyaksikan kejadian tadi. “Aku berharap tak pernah memiliki seorang ibu seperti dirimu.” Ungkap Anisa sambil mengusap air matanya. “Nisa, Ibu tak bermaksud seperti itu.” Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Anisa sudah pergi meninggalkanku setengah berlari menuju kelasnya.
“Apakah tindakanku sebagai seorang Ibu salah? Entahlah! Yang pasti aku telah mengecewakan seorang putri yang amat ku sayangi.” Keluhku dalam hati sambil berjalan keluar dari gerbang sekolah. Aku masih terngiang dengan perkataan Anisa, langkah kakiku berjalan tak tentu arah. Sepanjang jalan hatiku mengoceh, “Apakah aku salah? Apa aku ini begitu memalukan? Apa yang kulakukan ini salah? Mungkin aku gagal menjadi seorang Ibu yang baik!” batinku bertanya – Tanya.
Sebagai seorang Ibu, walau bagaimana pun seorang anak dia tetaplah anakku. Rasa sakit yang dia berikan membuat pilu, air mataku menetes perlahan membasahi pipiku. Sesekali ku usap air mataku menyembunyikannya dari setiap orang yang kutemui dijalan, namun tetap saja air mata mengalir terus. Aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan, aku merasa gagal sebagai seorang Ibu. Aku tak pernah bermaksud untuk mempermalukannya, “oh Tuhan, Maafkan aku! Apa yang kulakukan pada putriku satu - satunya.” Seru batinku.
Beberapa orang yang kutemui dijalan memperhatikanku, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melangkah menjauh dari gerbang sekolah, tidak tahu entah kemana kaki ini membawaku. Sampai di sebuah persimpangan jalan, aku menghela nafas dan mengusap air mata ku. Lalu melangkah lagi. Seseorang berteriak di belakangku “Ibu awas!” Aku menoleh seorang ibu – ibu tangannya menujuk kearah sebuah mobil yang melaju ke arahku.
“Gbraakk!” mobil itu menghantam tubuhku dan aku masih sempat melihat, aku terlempar ke depan lalu seketika penglihatanku gelap. Aku tak merasakan apapun, aku tak bisa melihat apa pun. “Ayo tolongin Ibu ini, angkat! Angkat ke mobil! Dia pingsan.” Kata – kata itu kudengar lamat – lamat. “Aduhh!” Refleks aku mengeluarkan suara dan tersadar, karena rasa sakit yang begitu menusuk di kaki kiriku. Kulihat kerumunan orang mengelilingiku lalu membantuku berdiri, “Arrggh, kakiku!” begitu sakitnya kakiku, tak dapat ku gerakan kaki kiriku. Tiba – tiba aku merasa pusing dan mual, lalu seketika penglihatanku gelap lagi “Ibu! Ibu! Ayo Angkat pak, bantuin! Dia pingsan lagi.” Suara – suara itu kudengar lamat – lamat lalu hilang, aku benar – benar tidak bisa melihat apa – apa bahkan lupa yang terjadi.
Di pagi itu sebuah cahaya menerpa wajahku, lamat – lamat kulihat suamiku duduk di sampingku. Cahaya mentari yang menembus jendela membuat jelas suasana diruangan itu, seperti berada di sebuah rumah sakit.
“Mas Anto?” Kataku lemah, dia terkejut lalu melihatku.
“Sayang, syukurlah kamu sudah sadar!”
“Aku dimana, Mas?” Tanyaku pelan, “Kita di rumah sakit” Jelas Mas Anto.
“Mas, Anisa dimana?”
“Anisa tidak pulang semalam, aku sudah mencarinya ke sekolah dan menelfonnya juga beberapa temannya, tapi tak ada yang tahu.” Jelasnya.
“Aku mau mencari Anisa, Mas!”
“Arrgh! Kakiku” Keluhku saat mencoba duduk, “Apa yang terjadi pada kakiku, Mas?” Mas Anto sejenak terdiam, “Kakimu patah sayang, jangan dulu di gerakkan, belum pulih total.” Jelasnya.
“Aku takut terjadi sesuatu pada Anisa, tidak seperti biasanya dia tidak pulang dan tidak memberi kabar.” Jelas Mas Anto. Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Mas Anto, dia hanya terdiam. Mas Anto pamitan padaku untuk pergi mencari Anisa ke sekolah.
Air mataku menetes memikirkan Anisa, “Apakah Anisa pergi sekolah? Siapakah yang membuatkan sarapan untuknya?” Batinku. Aku teringat Ibuku, dulu aku pun sering bertengkar dengannya karena betapa cerewetnya dia menurutku. Mungkin itulah yang di rasakan Anisa terhadapku, pernah sekali aku pergi dari rumah saat itu. Ibuku marah besar terhadapku, satu perkataan yang selalu ku ingat darinya walaupun hingga dia telah tiada “Anita, suatu saat nanti kau pun akan menjadi seorang Ibu. Kau akan tahu bagamana sakitnya melahirkan juga sulitnya merawat dan menjaga seorang anak. Bagaimana perasaan seorang Ibu saat di bentak anaknya sendiri. Bahkan kau akan tau bagaimana pengorbanan Ibu yang sesungguhnya. Mungkin saat ini kau hanya seorang anak perempuan yang hanya tahu senang – senang bersama temanmu bahkan apa yang Ibu beritahukan kepadamu tak pernah kau indahkan. Suatu saat nanti kau akan tau arti seorang Ibu.” Itulah perkataan Ibuku yang membuatku terdiam dan menangis saat itu.
Ingin rasanya aku bercerita dengan Ibuku tentang Anisa anakku yang sama sepertiku waktu muda dulu. Ibuku pasti tertawa, bahkan mungkin mengejekku. “Ibu kan udah pernah bilang! Makanya jadi anak jangan ngebantah orangtua! Sekarang tahukan bagaimana rasanya ngurus anak.” Mungkin kira – kira itulah kata yang akan Ibu ucapkan padaku, aku tersenyum sendiri membayangkannya. Tapi sayangnya Ibuku telah tiada, aku tak tahu harus cerita pada siapa karena hanya sesama wanita-lah yang dapat mengerti.
“Ibu!” Seru Anisa muncul dari bingkai pintu menghampiriku, matanya berkaca – kaca langsung memelukku. Aku mengelus kepala anakku, “Maafin Ibu ya, Nak?” Aku menangis.
“Akulah yang harusnya minta maaf, Bu! Maafin aku ya, Bu?” Kata Anisa. Air mata membasahi pipinya, aku mngusap air mata yang menetes di pipinya.
“Aku ini Ibumu sayang! Semarah apapun Ibu kamu tetaplah putriku.” Kataku sambil mencium keningnya. Aku tersenyum kepadanya “Udah – udah jangan nangis! Anak Ibu nggak cantik kalau lagi nangis.”
“Ibu juga jangan nangis dong!” Kata Anisa sambil mengusap air mata di pipiku. “Oh iya, kamu tahu Ibu ada disini karena siapa?” Tanyaku.
“Hehem!” Suara Mas Anto yang sedang berdiri di bingkai pintu. “karena Ayahnya dong!” Serunya lagi seraya melangkah masuk.
“Udah selesai nangis – nangisnya?” Tambah Mas Anto, aku dan Anisa hanya tertawa kecil.
Tak terasa seminggu telah berlalu, akhirnya sore itu aku di perbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Anisa dan Mas Anto menjemputku lalu membawa ku pulang, aku belum diperbolehkan jalan sendiri jadi aku masih menggunakan kursi roda. Mobil Mas Anto melaju meninggalkan rumah sakit hingga tak terlihat lagi ditutup gedung – gedung tinggi.
“Nisa, Ibu lupa Tanya! Lalu waktu kamu nggak pulang, kamu tidur dimana, Nak?” Tanyaku menyelidik.
“Hehe, aku nginap di rumah Lisa temen sekelasku, Bu!” Jelasnya. “Ayah udah nelfon Lisa, Cuma aku paksa untuk bilang aku nggak ada disana!”
“Trus ketemu Ayah dimana?”
“Ayah nungguin aku disekolah, Bu! aku mau kabur, Bu! Tapi keburu ketangkap sama Ayah.” Jelasnya sambil tertawa.
“Iya itupun setelah Ayah ceramahin berkali – kali baru mau ikut pulang. Apalagi saat denger Ibu di tabrak terus kaki ibu patah, aku langsung narik – narik Ayah ke mobil mau ke rumah sakit.” Tambah Anisa lagi, yang membuat kami semua tertawa lepas.
Sesampainya di rumah Anisa membantuku turun dari mobil dan mendorong kursi rodaku, suamiku menurunkan barang – barang. “Ayah nggak mau gendong Ibumu naik turun tangga loh!” seru suamiku. Sepertinya malam ini Ibu akan tidur di lantai satu deh.” Kata Anisa tertawa kecil.
Pagi itu hari minggu, aku keluar dari kamar menuju dapur. Kulihat Anisa sedang memasak, “Anisa? kamu ngapain?” tanyaku sedikit terkejut karena tidak biasanya dia seperti ini. Dengan menirukan gaya ku dia berkata “ Ibu mau sarapan apa?”. Aku tersenyum lebar menatapnya! “Nasi goreng saja!” seruku. Tak lama nasi goreng sudah dihidangkan di tengah meja makan. Kemudian suamiku pun ikut bergabung dalam kebersamaan sarapan bersama, “Ada hangus – hangusnya gitu deh!” kata Ayahku. Aku menyiku Mas Anto, “Mas nggak tahu ya? Kita punya koki baru!” Kataku menyela.
“Namanya juga masakin sarapan perdana, Yah!” Seru Anisa.
“Enak kok! Ayah suka!” Goda Mas Anto lagi.
Kami semua tertawa, dan aku menutup sarapan itu dengan menceritakan kepada Anisa apa yang pernah Ibuku ceritakan dan katakan kepadaku. Mas Anto dan Anisa tertawa terbahak – bahak. Mulai saat itu sikap Anisa pun berubah terhadapku, hingga kakiku sudah pulih total.
TAMAT
AKU SEORANG IBU
Oleh : Didi Darwiska
Suara alarm membangunkanku dari tidur lelapku, menutup mimpi semalam untuk bersiap menyambut pagi yang cerah. Sinar mentari menembus kaca – kaca jendela kamar, terlihat burung – burung kecil hinggap menghiasi dahan – dahan pohon. Kubuka jendela kaca itu, mataku disilaukan cahaya teriknya mentari. Kicau burung – burung kecil bagai nyanyian alam nan merdu. Aku segera beranjak dari kamar menuju ke dapur untuk membuat sarapan pagi, karena sebagai seorang ibu rumah tangga tentunya itu adalah kewajiban untukku.
Namaku Anita, seorang ibu rumah tangga dengan sejuta kesibukan. Aku memiliki seorang putri bernama Anisa, usianya sudah menginjak 16 tahun dan bersekolah di salah satu sekolah menengah atas di kota ini. Anisa putriku satu – satunya, karena menurut Dokter aku tidak akan bisa memiliki anak lagi. Anisa tergolong anak yang cerdas namun juga keras kepala seperti Ayahnya, tak jarang aku dan Anisa terlibat adu mulut karena perbedaan pendapat ataupun karena betapa bandelnya putriku ini. Namun dibalik keras kepalanya, Anisa adalah anak yang penuh semangat dan tak mudah menyerah. Menurut suamiku Anisa sama sepertiku sewaktu muda dulu, pesona dan parasnya yang begitu cantik di tambah senyum manis di bibir.
Pagi itu sekitar pukul enam lewat dua puluh lima menit, aku sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecilku. Anisa datang berseragam sekolah menuruni anak tangga lalu duduk menunggu sarapan.
“Nisa, sini bantuin Ibu! Tolong ambilin piringnya.” Pintaku halus.
“Ambil sendiri dong, Bu! Aku lagi malas nih.” Tolaknya. Aku menatapnya geram, namun wajahnya santai saja menatap layar smartphone di tangan kanannya.
“Nisa, Ayahmu mana?”
“Nissaaa!” Bentakku. Dia sedikit terkejut dan melepaskan pandangan dari layar smartphone-nya.
“Nggak tau ah! Mungkin masih dikamar.” Jawabnya ketus.
“Nisa? Kok jawabnya gitu? Nggak sopan tau!”
“Biarin aja!”
“Kamu ini ya? Kalau diberi tahu malah ngelawan.”
“Udah deh Bu! Jangan cerewet.” Aku hanya dapat mengelus dada, menarik nafas dalam – dalam lalu ku hembuskan perlahan. Itulah caraku meredam emosi, hal seperti ini sudah biasa terjadi padaku dan Anisa.
“Mas Anto! Ayo turun sarapan! Udah jam setengah tujuh nih!” Teriakku dari lantai satu. Tak berselang lama terdengar suara sepatu menuruni anak tangga dari lantai dua, suamiku datang untuk sarapan bersama.
“Ada apa sih pagi – pagi udah ribut aja?” Tanya Mas Anto.
“Ayah seperti belum mengenal Ibu saja.” Jawab Anisa singkat.
“Biasa Mas, putri cantikmu yang malas ini memulai perang di dapur.” Jelasku, Mas Anto tertawa lepas.
“Apaan sih! Ibu nih yang mulai duluan, Yah.” Kata Anisa coba membela diri. Anisa mencoba mencurahkan semua rasa kesalnya terhadapku kepada sang Ayah, sehingga menyebabkan Suasana dapur ribut kembali. Mas Anto merupakan tempat pelarian Anisa dari kemarahanku.
“Jadi udah lama nungguin Ayah turun ya?” Tanya Mas Anto dengan senyum lebar mencoba memecah suasana baru..
“Udah satu jam aku nunggu Ayah.” Jawab Anisa ketus.
“Benarkah? Bukannya kamu baru saja turun?” Mas Anto tersenyum menggoda Anisa, aku hanya mendengarkan percakapan mereka seraya meletakan nasi goreng hangat di meja makan.
“Udah – udah! Sarapan dulu sebelum nasi gorengnya dingin.” Kataku menyela percakapan mereka berdua. Mereka terdiam sejenak lalu tertawa, kebersamaan begitu terasa ketika kami sarapan pagi bersama walaupun Anisa masih terlihat sebal kepadaku.
Setelah selesai sarapan, Mas Anto berpamitan padaku saat hendak berangkat menuju sekolah mengantar Anisa lalu kemudian Ia berangkat ke kantor tempatnya bekerja.
“Daahh! Aku pergi dulu ya!” Kata mas Anto sebelum masuk ke mobilnya. Kulirik Anisa hanya sibuk dengan smartphone-nya.
“Anisa nggak pamit sama Ibu?” Seru Mas Anto. Anisa hanya melirikku kecut, “Aku pergi dulu.” Sepertinya dia masih marah oleh pertengkaran tadi pagi denganku, tidak seperti biasanya.
“Maafkan kata – kata ibu tadi di dapur yah?” Anisa menatapku bosan, hanya mengangkat alisnya sebagai tanda respon terhadapku.
“Belajar yang rajin ya, Nak!”
Wajah Anisa terlihat sebal, “Dah sayang?” Kataku sambil melambaikan tangan padanya. Dahi Anisa berkerut membalas lambaian tanganku dengan wajah cemberut, “Ayo dong jalan,Yah! Udah mau lambat nih.” Anisa menggerutu. Mas Anto memacu mobilnya ke jalanan menembus sejuknya pagi yang perlahan hilang ditelan hangatnya terik matahari. Wajah cemberut Anisa masih terbayang dalam pikiranku hingga mobil Mas Anto hilang di kelokan jalan.
“Ah, sudahlah! Hal – hal seperti ini biasa terjadi antara seorang anak dengan ibunya. Nanti juga pasti akan baikan lagi, Anisa pasti tak akan tahan lama jika marahan denganku. Lagi pula aku ini Ibunya, memang pantas apabila memarahinya ataupun melarangnya karena itu semua untuk kebaikannya sendiri.” Pikirku dalam hati.
Aku hendak mandi membasuh badanku untuk menghilangkan lelah fisik maupun pikiranku. Namun saat hendak ke kamarku, langkahku terhenti tepat didepan kamar Anisa. Pintu kamarnya terbuka membuat timbulnya rasa ingin tau. Aku melangkah masuk ke dalam kamar Anisa, “Ya Tuhan!” aku keheranan melihat kamar anakku sendiri. Seorang anak perempuan mana mungkin kamarnya seperti ini, seperti kadang sapi malah lebih rapi kandang sapi menurutku. “Bagaimana mungkin seorang wanita tak tahu merapikan kamarnya sendiri” Keluhku sambil merapikan kamarnya. Namun saat merapikan meja belajarnya tak sengaja kutemukan buku matematika yang membuatku berhenti mengoceh, “Bukannya hari ini dia mendapatkan pelajaran matematika?” Tanya batinku. Sepertinya Anisa lupa membawanya, “eh, tapi hari ini! Bukannya?”. Aku mengambil kalender “Iya benar, Anisa Ujian tengah semester hari ini.” Aku berhenti merapikan kamar juga menunda untuk mandi, lalu mengganti baju dan bergegas beranjak pergi kesekolah membawakan buku matematika Anisa.
Tak butuh waktu lama aku sudah berada dalam mobil taxi, tak lupa juga ku bawakan bungkusan yang berisi sedikit makanan dari rumah. “Mungkin saja itu bisa meredakan marahnya terhadapku” batinku. Setibanya di sekolah kulihat siswa – siswi menghiasi taman sekolah sepertinya sedang istrahat menunggu jam pelajaran berikutnya, aku mencari Anisa ke kelasnya tapi tak kutemukan. Temannya memberitahukan padaku mereka melihat Anisa di kantin bersama teman – temannya, aku segera menuju kesana dan benar saja Anisa ada disana. Kuhampiri Anisa di antara teman – temannya yang berkelompok.
“Nisa?” wajah Anisa begitu terkejut melihatku.
“Ibu? Ngapain datang ke sekolah?” Seru Anisa.
“Ibu datang bawain buku matematika kamu yang tertinggal, Nak”
“Kenapa sih Ibu repot – repot datang cuma mau bawain buku ini?” Wajah Anisa kecut.
“Bukannya kamu ujian tengah semester hari ini? Lagi pula Ibu tidak hanya membawakanmu itu saja! Ini Ibu juga membawakanmu makanan.” Jelasku sambil memberikannya bungkusan makanan itu. Seketika semua teman – teman Anisa tertawa terbahak – bahak, raut wajah Anisa tak bisa ku gambarkan lagi.
“Hey kawan – kawan, lihatlah si putri cantik Anisa di bawain makanan sama Ibunya.” Teriak salah satu siswi yang duduk di meja kantin, sontak saja semua orang di kantin mentertawai Anisa. Aku merasa bersalah terhadap Anisa, aku tak tau akan terjadi seperti ini pada akhirnya. “Kaya anak TK aja pake di bawain makanan sama Ibunya” seru seorang siswi yang lain, “Cup cup cuup!” Tambah salah seorang dari mereka.
“Sebaiknya Ibu pulang saja! Ibu hanya membuatku malu." Matanya berkaca – kaca menatapku, “Ibu harusnya tak perlu membawakanku makanan seperti ini! Hanya membuatku dipermalukan.” Ungkapnya dengan nada sedikit lebih keras.
“Nisa, mengapa kamu bilang begitu? Ibu tak pernah mengajarkanmu bicara kasar seperti itu.” Kutatap dengan jelas bola matanya, kali ini Anisa tak mengindahkan teguranku dan malah membentakku.
“Seharusnya Ibu nggak perlu datang! Apalagi bawain makanan kaya gini” Bentak Anisa sambil melemparkan makanan yang kuberikan padanya, aku sedikit terkejut mendengar kata – kata Anisa.
Seperti ada peluru yang tiba – tiba datang menembus hati ini, begitu sakit seakan tak kuharapkan terjadi. “Apa Ibu begitu memalukan, Nak? Apa kau begitu malu memiliki Ibu seperti ini?” tanyaku tegas. Tak kusangka jawaban Anita begitu memilukanku, “Iya, aku malu punya Ibu seperti ini! Aku tak pernah mengharapkan di lahirkan oleh ibu yang seperti ini!” Bentaknya keras. Sungguh terkejutnya diriku mendengar kata – kata dari anakku sendiri, kata – kata yang selama ini belum pernah kudengar dari mulut Anisa. Aku tak dapat menahan emosi dan rasa amarahku, rasa kecewa sudah begitu menguasaiku sehingga lupa segalanya dan tenggelam dalam emosiku sendiri.
“Plaaakk!” Aku tak dapat menahan emosiku, aku menampar Anisa refleks. Air matanya menetes, “Maafkan Ibu, Nak! Ibu nggak bisa nahan emosi.” Aku menyesal. Suasana kantin sekolah lenggang sejenak, kami menjadi tontonan beberapa siswa siswi disana di antaranya adalah teman – teman Anisa yang sedari tadi tertawa dan kini berhenti karena terkejut menyaksikan kejadian tadi. “Aku berharap tak pernah memiliki seorang ibu seperti dirimu.” Ungkap Anisa sambil mengusap air matanya. “Nisa, Ibu tak bermaksud seperti itu.” Belum sempat kuselesaikan kalimatku, Anisa sudah pergi meninggalkanku setengah berlari menuju kelasnya.
“Apakah tindakanku sebagai seorang Ibu salah? Entahlah! Yang pasti aku telah mengecewakan seorang putri yang amat ku sayangi.” Keluhku dalam hati sambil berjalan keluar dari gerbang sekolah. Aku masih terngiang dengan perkataan Anisa, langkah kakiku berjalan tak tentu arah. Sepanjang jalan hatiku mengoceh, “Apakah aku salah? Apa aku ini begitu memalukan? Apa yang kulakukan ini salah? Mungkin aku gagal menjadi seorang Ibu yang baik!” batinku bertanya – Tanya.
Sebagai seorang Ibu, walau bagaimana pun seorang anak dia tetaplah anakku. Rasa sakit yang dia berikan membuat pilu, air mataku menetes perlahan membasahi pipiku. Sesekali ku usap air mataku menyembunyikannya dari setiap orang yang kutemui dijalan, namun tetap saja air mata mengalir terus. Aku tidak tahu apa yang seharusnya kulakukan, aku merasa gagal sebagai seorang Ibu. Aku tak pernah bermaksud untuk mempermalukannya, “oh Tuhan, Maafkan aku! Apa yang kulakukan pada putriku satu - satunya.” Seru batinku.
Beberapa orang yang kutemui dijalan memperhatikanku, entah apa yang mereka bicarakan. Aku hanya melangkah menjauh dari gerbang sekolah, tidak tahu entah kemana kaki ini membawaku. Sampai di sebuah persimpangan jalan, aku menghela nafas dan mengusap air mata ku. Lalu melangkah lagi. Seseorang berteriak di belakangku “Ibu awas!” Aku menoleh seorang ibu – ibu tangannya menujuk kearah sebuah mobil yang melaju ke arahku.
“Gbraakk!” mobil itu menghantam tubuhku dan aku masih sempat melihat, aku terlempar ke depan lalu seketika penglihatanku gelap. Aku tak merasakan apapun, aku tak bisa melihat apa pun. “Ayo tolongin Ibu ini, angkat! Angkat ke mobil! Dia pingsan.” Kata – kata itu kudengar lamat – lamat. “Aduhh!” Refleks aku mengeluarkan suara dan tersadar, karena rasa sakit yang begitu menusuk di kaki kiriku. Kulihat kerumunan orang mengelilingiku lalu membantuku berdiri, “Arrggh, kakiku!” begitu sakitnya kakiku, tak dapat ku gerakan kaki kiriku. Tiba – tiba aku merasa pusing dan mual, lalu seketika penglihatanku gelap lagi “Ibu! Ibu! Ayo Angkat pak, bantuin! Dia pingsan lagi.” Suara – suara itu kudengar lamat – lamat lalu hilang, aku benar – benar tidak bisa melihat apa – apa bahkan lupa yang terjadi.
Di pagi itu sebuah cahaya menerpa wajahku, lamat – lamat kulihat suamiku duduk di sampingku. Cahaya mentari yang menembus jendela membuat jelas suasana diruangan itu, seperti berada di sebuah rumah sakit.
“Mas Anto?” Kataku lemah, dia terkejut lalu melihatku.
“Sayang, syukurlah kamu sudah sadar!”
“Aku dimana, Mas?” Tanyaku pelan, “Kita di rumah sakit” Jelas Mas Anto.
“Mas, Anisa dimana?”
“Anisa tidak pulang semalam, aku sudah mencarinya ke sekolah dan menelfonnya juga beberapa temannya, tapi tak ada yang tahu.” Jelasnya.
“Aku mau mencari Anisa, Mas!”
“Arrgh! Kakiku” Keluhku saat mencoba duduk, “Apa yang terjadi pada kakiku, Mas?” Mas Anto sejenak terdiam, “Kakimu patah sayang, jangan dulu di gerakkan, belum pulih total.” Jelasnya.
“Aku takut terjadi sesuatu pada Anisa, tidak seperti biasanya dia tidak pulang dan tidak memberi kabar.” Jelas Mas Anto. Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Mas Anto, dia hanya terdiam. Mas Anto pamitan padaku untuk pergi mencari Anisa ke sekolah.
Air mataku menetes memikirkan Anisa, “Apakah Anisa pergi sekolah? Siapakah yang membuatkan sarapan untuknya?” Batinku. Aku teringat Ibuku, dulu aku pun sering bertengkar dengannya karena betapa cerewetnya dia menurutku. Mungkin itulah yang di rasakan Anisa terhadapku, pernah sekali aku pergi dari rumah saat itu. Ibuku marah besar terhadapku, satu perkataan yang selalu ku ingat darinya walaupun hingga dia telah tiada “Anita, suatu saat nanti kau pun akan menjadi seorang Ibu. Kau akan tahu bagamana sakitnya melahirkan juga sulitnya merawat dan menjaga seorang anak. Bagaimana perasaan seorang Ibu saat di bentak anaknya sendiri. Bahkan kau akan tau bagaimana pengorbanan Ibu yang sesungguhnya. Mungkin saat ini kau hanya seorang anak perempuan yang hanya tahu senang – senang bersama temanmu bahkan apa yang Ibu beritahukan kepadamu tak pernah kau indahkan. Suatu saat nanti kau akan tau arti seorang Ibu.” Itulah perkataan Ibuku yang membuatku terdiam dan menangis saat itu.
Ingin rasanya aku bercerita dengan Ibuku tentang Anisa anakku yang sama sepertiku waktu muda dulu. Ibuku pasti tertawa, bahkan mungkin mengejekku. “Ibu kan udah pernah bilang! Makanya jadi anak jangan ngebantah orangtua! Sekarang tahukan bagaimana rasanya ngurus anak.” Mungkin kira – kira itulah kata yang akan Ibu ucapkan padaku, aku tersenyum sendiri membayangkannya. Tapi sayangnya Ibuku telah tiada, aku tak tahu harus cerita pada siapa karena hanya sesama wanita-lah yang dapat mengerti.
“Ibu!” Seru Anisa muncul dari bingkai pintu menghampiriku, matanya berkaca – kaca langsung memelukku. Aku mengelus kepala anakku, “Maafin Ibu ya, Nak?” Aku menangis.
“Akulah yang harusnya minta maaf, Bu! Maafin aku ya, Bu?” Kata Anisa. Air mata membasahi pipinya, aku mngusap air mata yang menetes di pipinya.
“Aku ini Ibumu sayang! Semarah apapun Ibu kamu tetaplah putriku.” Kataku sambil mencium keningnya. Aku tersenyum kepadanya “Udah – udah jangan nangis! Anak Ibu nggak cantik kalau lagi nangis.”
“Ibu juga jangan nangis dong!” Kata Anisa sambil mengusap air mata di pipiku. “Oh iya, kamu tahu Ibu ada disini karena siapa?” Tanyaku.
“Hehem!” Suara Mas Anto yang sedang berdiri di bingkai pintu. “karena Ayahnya dong!” Serunya lagi seraya melangkah masuk.
“Udah selesai nangis – nangisnya?” Tambah Mas Anto, aku dan Anisa hanya tertawa kecil.
Tak terasa seminggu telah berlalu, akhirnya sore itu aku di perbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Anisa dan Mas Anto menjemputku lalu membawa ku pulang, aku belum diperbolehkan jalan sendiri jadi aku masih menggunakan kursi roda. Mobil Mas Anto melaju meninggalkan rumah sakit hingga tak terlihat lagi ditutup gedung – gedung tinggi.
“Nisa, Ibu lupa Tanya! Lalu waktu kamu nggak pulang, kamu tidur dimana, Nak?” Tanyaku menyelidik.
“Hehe, aku nginap di rumah Lisa temen sekelasku, Bu!” Jelasnya. “Ayah udah nelfon Lisa, Cuma aku paksa untuk bilang aku nggak ada disana!”
“Trus ketemu Ayah dimana?”
“Ayah nungguin aku disekolah, Bu! aku mau kabur, Bu! Tapi keburu ketangkap sama Ayah.” Jelasnya sambil tertawa.
“Iya itupun setelah Ayah ceramahin berkali – kali baru mau ikut pulang. Apalagi saat denger Ibu di tabrak terus kaki ibu patah, aku langsung narik – narik Ayah ke mobil mau ke rumah sakit.” Tambah Anisa lagi, yang membuat kami semua tertawa lepas.
Sesampainya di rumah Anisa membantuku turun dari mobil dan mendorong kursi rodaku, suamiku menurunkan barang – barang. “Ayah nggak mau gendong Ibumu naik turun tangga loh!” seru suamiku. Sepertinya malam ini Ibu akan tidur di lantai satu deh.” Kata Anisa tertawa kecil.
Pagi itu hari minggu, aku keluar dari kamar menuju dapur. Kulihat Anisa sedang memasak, “Anisa? kamu ngapain?” tanyaku sedikit terkejut karena tidak biasanya dia seperti ini. Dengan menirukan gaya ku dia berkata “ Ibu mau sarapan apa?”. Aku tersenyum lebar menatapnya! “Nasi goreng saja!” seruku. Tak lama nasi goreng sudah dihidangkan di tengah meja makan. Kemudian suamiku pun ikut bergabung dalam kebersamaan sarapan bersama, “Ada hangus – hangusnya gitu deh!” kata Ayahku. Aku menyiku Mas Anto, “Mas nggak tahu ya? Kita punya koki baru!” Kataku menyela.
“Namanya juga masakin sarapan perdana, Yah!” Seru Anisa.
“Enak kok! Ayah suka!” Goda Mas Anto lagi.
Kami semua tertawa, dan aku menutup sarapan itu dengan menceritakan kepada Anisa apa yang pernah Ibuku ceritakan dan katakan kepadaku. Mas Anto dan Anisa tertawa terbahak – bahak. Mulai saat itu sikap Anisa pun berubah terhadapku, hingga kakiku sudah pulih total.
TAMAT
Langganan:
Komentar (Atom)